
Lima hari menyatu dengan alam memberikan banyak pelajaran berharga. Mulai dari belajar menghargai hal-hal kecil, hingga mensyukuri bahwa saya masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah Dayak ini. Tulisan ini merupakan rangkaian terakhir dari seri road trip saya di Kalimantan Timur.
Menyusuri Jalur Tambang Menuju Bontang
Sebelum kembali ke Jakarta, kami bermalam satu hari di Bontang. Perjalanan pulang saya dimulai langsung dari Maratua menuju Bontang. Kami menempuh jalur laut dari Maratua ke Pelabuhan Berau selama tiga jam menggunakan speedboat.
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat selama delapan jam. Jalur yang kami tempuh berbeda dengan jalur saat berangkat yang melewati hutan sawit. Kali ini, kami mencoba jalur tambang.
Jalannya pun tidak mudah. Jalur ini biasa dilalui oleh kendaraan-kendaraan besar seperti truk pengangkut batu bara, hasil tambang lainnya, kayu, serta kelapa sawit.
Kondisi jalan memang relatif lebih baik dan jarang berlubang, namun tetap berkelok-kelok karena merupakan jalur utama menuju Samarinda. Tikungan-tikungan tajam khas jalur perbukitan menjadi pemandangan kami sepanjang perjalanan.
Konon, jalur ini rawan longsor saat hujan lebat. Jika longsor terjadi, akses bisa langsung terputus hingga kondisi kembali aman. Meski kami melewati jalur ini di malam hari dan dalam kondisi gelap, suasananya tidak semencekam jalur sawit yang kami lewati saat berangkat.
Sejenak Menelusuri Sejarah Bontang
Bermalam di Bontang, keesokan harinya kami menyempatkan diri berjalan-jalan sebentar di kota ini. Ternyata, sejarah Bontang cukup menarik—karena dulunya daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan pada masa Kesultanan Kutai Kartanegara.
Banyak rumah panggung dari kayu ulin yang berada di dekat pesisir masih dihuni oleh keturunan asli, meskipun beberapa di antaranya telah mengalami pemugaran, terutama di bagian atap.
Sekitar pukul 11 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Samarinda yang ditempuh selama kurang lebih tiga jam.
Uniknya, di sepanjang perjalanan menuju Samarinda, tepatnya di jalan poros Bontang–Samarinda, kami sempat mampir ke sebuah rumah makan tahu Sumedang. Saya cukup heran—mengapa di Kalimantan ada yang menjual tahu Sumedang?
Ternyata, menurut informasi warga setempat, tahu Sumedang ini cukup terkenal dan menjadi satu-satunya outlet yang dianggap wajib dikunjungi untuk beristirahat saat menempuh perjalanan lintas Kalimantan.
Ternyata, menurut informasi warga setempat, tahu Sumedang ini cukup terkenal dan menjadi satu-satunya outlet yang dianggap wajib dikunjungi untuk beristirahat saat menempuh perjalanan lintas Kalimantan.
Menyelami Budaya Dayak di Desa Budaya Pampang
Tujuan kami selanjutnya adalah berkunjung ke Desa Budaya Pampang, sebuah destinasi wisata yang memperlihatkan kehidupan dan tradisi Suku Dayak Kenyah.
Desa ini terletak di Kelurahan Budaya Pampang, sekitar 28 km dari pusat Kota Samarinda Dayak Kenyah merupakan salah satu sub-suku Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan.
Meskipun kawasan ini termasuk dalam daftar objek wisata, saat saya berkunjung suasananya sangat sepi—hanya ada saya dan teman-teman saya. Mungkin karena kami datang pada hari biasa, sehingga tidak ada kegiatan budaya yang berlangsung saat itu.