Jadi Kode Sehari di Tangerang Kota, Mantap Jasa!

Kolase Kegiatan Walking Tour Benteng- Dokumentasi Pribadi

Minggu 25 Mei 2025 di pagi yang lumayan cerah walau matahari lebih sering mengintip di balik awan daripada bersemayam terang terangan ada sebuah acara tur jalan jalan yang di sponsori oleh Temu Kompasiana dan Benteng Walking Tour. Dari nama Benteng bisakah rekan rekan menebak di kota mana berada?

Benar jika anda menjawab Kota Tangerang, dimana memang dikenal sebagai nama Kota Benteng, saat pasa pendudukan VOC di kota ini ada berdiri banyak benteng dan paling terkenal adalah Benteng Makasar, muasal nama benteng tersebut sudah pasti dapat di tebak berasal dari nama salah satu daerah di Sulawesi lantaran personel yang ditugaskan oleh VOC disana berasal dari Makasar

Di  sekitaran benteng tersebut juga bermukin banyak penduduk Tionghoa yang diminta untuk betani sebegai upaya mensuplai pasokan pangan lokal untuk tentara yang bertugas disana. Maka dari itu budaya pada sebagian besar penduduk Cina Benteng atau lebih banyak kini di sapa Ciben sebagai petani agraris daripada pedagang. Hal tersebut juga berkaitan dengan Kawin Campur dimana pendatang beretnis Tionghoa menikahi warga Sunda lokal dan kemudian si Suami lebih banyak keluar untuk berdagang sehingga ada waktu LDR menyebabkan keturunan peranakan lebih dekat dengan bahasa dan budaya ibunya daripada ayahnya.

Acara di mulai dengan pembagian team dimana tim pertama di ajak berkelana dengan Cide Elsa dan saya mengikuti tim dua yang di pandu Kode Ronald. Nah yang unik lagi dari Ciben adalah penggunaan bahasa campuran untuk menyebut Cici dan Kokoh (kakak) dengan penambahan Gede sehingga jadilah Cici Gede dan Kokoh Gede yang tentu di padukan dengan keseringan orang sunda menyingkat sehingga panggilan disini ya Cide dan Kode untuk kaka kaka sekalian. Walaupun bagi saya sebagai orang yang lama menetap di daerah sunda penuturan bahasa yang ditampilkan oleh komunitas Ciben lebih seperti dialek Betawi daripada Sunda tapi ayo menikmati sehari menjadi Kode di Tangerang Kota, soalnya kalau kabupaten jauh sekali. 

Acara di mulai dengan penjelasan mengenai titik kumpul di Stasiun Tangerang yang telah jadi Cagar Budaya, hanya sayangnya tidak ada sisa bangunan dari stasiun yang di bangun di 1899. Dahulu Stasiun di bangun dengan tujuan tidak mengangkut orang seperti sekarang, dimana yang diangkut adalah hasil tani untuk di pasok ke Batavia via rute Tangerang ke Duri dimana sekarang rute ini hanya melayani KRL lalu ada Kereta bandara dari Batu ceper ke Duri.

Kemudian kita melangkah ke kawasan pasar lama, jika kesini bukan sekali dua kali pernah saya kunjungi, bagaimana tidak di sambangi, tempat ini jika gemerlap malam menghampiri akan berubah menjadi pusat kuliner malam yang terkenal seantero Jabodetabek dan Banten. Area kedua yang di datangi adalah pabrik kecap bukan sembarang kecap tapi ini bernama Kecap Siong Hin atau lebih dikenal sebagai SH kecapnya orang Tangerang, jujur kecap ini paling enak jika jadi bahan ketoprak ataupun bubur rasanya Beuh Mantap Jasa.

Setelah dari tempat produksi kecap yang hanya dapat di kunjungi dari luar saja apalagi kondisinya sedang libur kita melaju langkah ke kawasan lain ke suatu sudut di belakang areal pasar basah dari Pasar Lama, untuk tambahan areal ini dan areal Petak Sembilan Kota Tangerang  keduanya telah menjadi Cagar budaya. Untuk keajaiban selanjutnya ada di belakang ruko-ruko yang berjejer ada jalan rasanya serasa menebus zaman membawa kita langsung ke Cagar Budaya keempat yaitu Kelenteng Bon Tek Bio yang telah berdiri sejak 1684.

Kenapa saya sebut menembus zaman bukan tanpa sebab itu karena ini adalah Kelenteng tertua di Kota Tangerang, tempat ibadah ini di desikasikan untuk Dewi Kwan Im sebagai Dewi tuan rumahnya. Hal yang paling mmebuat saya takjub adalah kata pertama pada nama tempat ini yakni Boen memiliki arti intelektual, kemudian Tek yang berarti kebajikan dan terakhir adalah Bio adalah tempat ibadah, dimana susunan kata ini jika di telaah lebih lanjut adalah Tempat ibadah yang membentuk orang yang berintelektual.

Cagar budaya yang tidak jauh hanya sepelemparan batu saja adalah Masjid Jami Kalipasir, lagi lagi menjadi salah satu yang tertua di Tangerang Kota. Salah satupilar masjid menurut penuturan Kode Ronald berasal dari Sunan Kalijaga yang juga menjadi tiang sejarah penyebaran Islam di tanah Banten. di depan masjid ada sekumpulan makam pekuburan dimana salah satunya adalah makam dari Nyi Ratu Muria Negara istri dari Sultan Ageng Tirtayasa. Uniknya Masjid ini masih mempertahankan bangunan khas berasitektur lokal tanpa kubah ala timur tengah. 

Uniknya lagi menara masjid ini di bangun oleh kelompok Ciben muslim sehingga modelnya menyerupai pagoda, sungguh toleransi yang sangat tinggi dua tempat peribadatan beriringan dalam lokasi yang berdekatan yang tidak sampai dua menit jalan kaki. Ini adalah salah satu contoh yang wajib di lestarikan sebagai keindahan dan persatuan dalam keberagaman serta pemeliharaan atas akulturasi budaya yang terjadi.

Rute selanjutnya adalah ke daerah rumah rumah berasitektur Tiongkok Selatan, jika dari cerita Kode Ronald banyak rumah disini berbetuk rumah kebaya atau rumah berdinding bilik beratap rumbia yang punya pelataran luas untuk menjamu tamu. Tapi untuk yang lebih berada rumah rumah didominasi oleh rumah bata yang berasitektur tiongkok selatan, makin banyak relif makin menunjukan seberapa beradanya mereka. 

Kami ditunjukan beberapa rumah khas yang telah di rubah menjadi rumah walet yang sesuai nama nya RoemBoer alias rumah burung. Tepat seberang rumah ini ada sebuah rumah yang adalah peninggalan dari penerjemah cerita silat mandari Oey Kim Tian atau lebih dikenal OKT. tidak jauh dari situ ke arah sungai ada tangga Ronggeng yang dahulu jadi tempat mangkalnya penari ronggeng untuk pentas, sayang lagi lagi tangga bersejarah itu ikut hilang tergerus perluasan sungai Cisadane. Kemudian jika ada yang bertanya di mana Petak Sembilan Tangerang ya semuanya termasuk areal perumahan ini.

Selanjutnya tur ini di lanjut ke tepian Cisadane saksi sejarah abadi Kota Tangerang. Disana ada Toa Pekong Air – Prasati Tangga Jamban dari namanya sudah terbayang kan area ini dahulunya digunakan sebagai apa? disini juga ada dermaga kecil yang menyambungan dua tepian sungai. Banyak juga diantaranya digunakan sebagai spot macing. Di pelipir sungai ini ada banyak penjaja makanan kali lima juga.

Lalu selangkah menuju akhir perjalanan kita sampai di Museum Benteng Heritage juga yang menjadi Cagar budaya ke 6. Museum ini berdiri dari sebuah rumah yang telah di beli dan di restorasi oleh Udaya Halim salah satu tokok Tionghoa Indonesia. di musium ini banyak pajangan yang di temukan dari masa ke masa yang menjadi saksi tumbuh kembangnya kebudayaan di wilayah ini terutama untuk Ciben. 

Di dalamnya ada banyak artepak peninggalan yang tertata rapih, dari beberaa pajangan kecap sebagai salah satu oleh oleh khas tangerang adapula pajangan rantang yang biasa digunakan untuk Sangjit atau Lamaran, baju Kebaya encim juga ada sepatu cantik dari mungkin dinasti Cing atau Qing. Ingat sepatu ini menjadi pengingat jika menjadi cantik sesuai budaya itu butuh pengorbanan dan rasa sakit. Sepatu kecil ini di disain dari kita kecil dengan mengikat jari jari kaki dengan ketat sehingga remuk dan kaki menjadi kecil dan pas di sepatu sekecil itu. Percaya kan cantik selain mahal itu sakit, ini sesuai zaman ya.

Terakhir kami bersantap di salah satu tempat makan seperti kedai kopi dengan ayam sambalnya yang lagi lagi mantap jasa. Tempat ini juga penuh dengan pernak pernik peranakan yang tidak lupa dengan budaya yang telah turun temurun. 

Sebentar lagi liburan sekolah ini bisa jadi tujuan terdekat dari Jakarta dan Banten, Nah jadi pertanyaanya kapan kamu mau mengikuti rute perjalanan ini? yuk rencanakan liburanmu dari sekarang! Tangerang Kota Benteng deui deui Mantap Jasa.

Leave a comment

Your email address will not be published.